JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia masih menduduki peringkat ketiga untuk jumlah perokok di dunia, yakni sekitar 65 juta orang. Angka ini akan terus meningkat jika pemerintah tidak mengatur perilaku merokok dan industri rokok serta tidak menerapkan larangan iklan rokok.
Hal itu diungkapkan Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Laksmiati Hanafiah, ketika ditemui Kompas.com, Sabtu (2/10/2010) di sela-sela Aksi Damai Sehat, Cerdas dan Berprestasi tanpa Rokok yang digelar di Citywalk Sudirman, Jakarta.
Menurut perempuan yang akrab disapa Mia itu, usia para perokok di Indonesia lebih banyak pada kisaran 15 hingga 19 tahun. "Di antaranya 70 persen dari jumlah perokok itu adalah masyarakat kalangan menengah ke bawah," katanya.
Akibatnya, lanjut Mia, para orangtua dari kalangan tersebut kurang memperhatikan gizi anak-anak mereka. "Uang yang harusnya untuk beli makanan, ternyata dihabiskan untuk membeli rokok," ujarnya.
Sekjen Komnas Pengendalian Tembakau, Suhardi, mengatakan, kalangan perokok dari masyarakat berpendidikan rendah dan keuangannya menengah ke bawah kurang begitu memperhatikan kalimat peringatan bahaya merokok.
"Sebaiknya di dalam bungkus rokok, terdapat peringatan dengan gambar. Contohnya, gambar penyakit yang ditimbulkan akibat rokok, seperti stroke dan kanker," kata Suhardi.
Dia mengungkapkan, negara tetangga sudah mencoba menerapkan peringatan merokok melalui gambar.
"Malaysia, Singapura, dan negara-negara lain telah mempraktikkannya. Terbukti, jumlah perokok di beberapa negara itu justru mengalami penurunan 15-20 persen," ujarnya.
Hal itu diungkapkan Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Laksmiati Hanafiah, ketika ditemui Kompas.com, Sabtu (2/10/2010) di sela-sela Aksi Damai Sehat, Cerdas dan Berprestasi tanpa Rokok yang digelar di Citywalk Sudirman, Jakarta.
Menurut perempuan yang akrab disapa Mia itu, usia para perokok di Indonesia lebih banyak pada kisaran 15 hingga 19 tahun. "Di antaranya 70 persen dari jumlah perokok itu adalah masyarakat kalangan menengah ke bawah," katanya.
Akibatnya, lanjut Mia, para orangtua dari kalangan tersebut kurang memperhatikan gizi anak-anak mereka. "Uang yang harusnya untuk beli makanan, ternyata dihabiskan untuk membeli rokok," ujarnya.
Sekjen Komnas Pengendalian Tembakau, Suhardi, mengatakan, kalangan perokok dari masyarakat berpendidikan rendah dan keuangannya menengah ke bawah kurang begitu memperhatikan kalimat peringatan bahaya merokok.
"Sebaiknya di dalam bungkus rokok, terdapat peringatan dengan gambar. Contohnya, gambar penyakit yang ditimbulkan akibat rokok, seperti stroke dan kanker," kata Suhardi.
Dia mengungkapkan, negara tetangga sudah mencoba menerapkan peringatan merokok melalui gambar.
"Malaysia, Singapura, dan negara-negara lain telah mempraktikkannya. Terbukti, jumlah perokok di beberapa negara itu justru mengalami penurunan 15-20 persen," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar